Sore Ngajar Bahasa Mandarin, Magrib Belajar Mengaji
DILIHAT sekilas, sosok Melin Alfi Nurjannah tampak seperti halnya perempuan lokal Banyuwangi umumnya. Logat bicaranya pun Indonesia banget. Tidak kebarat-baratan. Tidak pula kemandarin-mandarinan. Juga tidak kentara logat Jepangnya.
Tak heran, ketika dia dimasukkan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Adz-Dzikra pertengahan November lalu, para pengurus dan para santri tidak mengetahui kepiawaiannya berbahasa Mandarin, Inggris, dan Jepang. Jangankan kecakapan berbicara bahasa asing, banyak pengurus dan teman-temannya sesama santri yang tidak mengetahui Melin merupakan cewek blasteran Taiwan-Indonesia.
Kecakapan Melin berbahasa Mandarin baru terungkap dalam acara peresmian ponpes yang diasuh H. Ahmad Wahyudi tersebut 26 November 2016. Padahal, prosesi peresmian itu berlangsung sekitar sepekan setelah anak kedua pasangan Huang Shi Chun asal Kota Gao Xiong, Taiwan, dan Qona’ah, warga asli Banyuwangi, itu mondok di ponpes yang di dalamnya terdapat Masjid Muhammad Cheng Hoo tersebut.
Ceritanya, peresmian ponpes tersebut dihadiri Konsul Jenderal (Konjen) Tiongkok di Surabaya, Gu Jingqi. Bukan hanya Gu Jingqi, beberapa ustad asal negeri tirai bambu rela jauh-jauh pergi ke Banyuwangi untuk menghadiri peresmian ponpes yang bangunannya mengusung arsitektur khas Tiongkok tersebut.
Nah, saat itu Melin melihat beberapa ustad asal Tiongkok dan staf konjen duduk di kursi undangan. Dia mendekat dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin untuk meminta izin berfoto bersama mereka. “Orang- orang asli Tiongkok itu tampak terkejut. Termasuk sang konjen,” kenangnya.
Bukannya langsung melayani permintaan foto bersama, para ustad asal Tiongkok itu malah sibuk “mewawancarai” Melin. Mereka bertanya banyak hal. Mulai pertanyaan apakah di Banyuwangi ada sekolah yang mengajarkan bahasa Mandarin?Dari mana kemampuan berbahasa Mandarin didapat Melin? dan lain sebagainya.
Singkat cerita, tanya jawab Melin dan orang-orang Tiongkok itu diketahui beberapa pengurus Ponpes Adz-Dzikra. Hingga akhirnya, sang pengasuh ponpes, HA. Wahyudi, mendengar kabar tersebut. Bahkan, belakangan terkuak bahwa selain piawai berbahasa Mandarin, Melin juga cakap berbahasa Inggris dan Jepang.
“Tetapi untuk bahasa Jepang, saya baru menguasai beberapa percakapan umumnya saja. Karena sebelum pindah ke Banyuwangi, saya baru enam bulan belajar bahasa Jepang,” akunya. Ya, sejak kecil Melin bersama ayah dan ibunya tinggal di Bali.
Selama menetap di Pulau Dewata, dia menempuh pendidikan di sekolah internasional, yakni Universal School, Denpasar. “Saya belajar di Universal School sejak jenjang SD hingga semester pertama kelas XI SMA,” kata dia. Setelah pindah ke Banyuwangi sekitar empat bulan lalu, Melin mondok di Ponpes Adz-Dzikra.
Selain menempuh pendidikan agama di ponpes, dia juga melanjutkan pendidikan formal. Saat ini Melin bersekolah di SMA 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Sementara itu, setelah mengetahui kepiawaian Melin berbahasa Mandarin, pengurus pondok memintanya menularkan ilmunya kepada para santri, khususnya santri jenjang TK, SD, dan SMP. Pelajaran bahasa Mandarin dia berikan tiga kali dalam sepekan, tepatnya setelah salat asar.
“Saya senang mengajari adik-adik belajar bahasa Mandarin. Sebab, menurut saya, dengan menguasai bahasa Mandarin, peluang mengakses lapangan kerja semakin besar,” kata dia. Menurut Melin mengajar bahasa Mandarin kepada anak-anak bisa dikatakan gampang-gampang susah.
“Ada anak yang mudah memahami pelajaran yang saya berikan. Ada pula yang lambat. Kuncinya harus sabar dan telaten,” terangnya. Di sisi lain, setelah mengajar santri usia SD sampai SMP, giliran Melin belajar mengaji. Melin bersama para santri jenjang SMP, SMA, dan perguruan tinggi, mengaji setiap bakda magrib.
Selain belajar pengetahuan agama, dia juga intens belajar bahasa Arab. Hasilnya, Melin kini piawai berkomunikasi dengan bahasa Arab. Menariknya, selain menjadi pengajar bahasa Mandarin, Melin kerap kali menjadi guide dadakan bagi para wisatawan asal Tiongkok yang berkunjung ke kompleks Ponpes Adz-Dzikra.
“Mungkin karena arsitektur bangunan ponpes ini khas Tiongkok, banyak orang asal Tiongkok dan keturunan Tiongkok yang ke sini (Ponpes Adz-Dzikra),” akunya. Kemampuan Melin berbicara, membaca, dan menulis bahasa Mandarin tidak hanya didapat dari bangku sekolah. Sejak masih kecil dia sudah diajari berkomunikasi menggunakan bahasa Mandarin oleh ayahnya.
“Tetapi, agak jarang diajari ayah. Karena ayah saya bekerja di bidang pelayaran, jadi jarang pulang. Namun, sejak kelas lima SD, ayah mendesak saya belajar bahasa Mandarin lebih intens,” tuturnya.
Ayah Melin semakin menggenjot kemampuan bahasa Mandarin buah hatinya tersebut lantaran akan memboyong istri dan anak- anaknya mengunjungi keluarga besarnya di Taiwan. “Sebetulnya saat masih kecil saya sering diajak mengunjungi keluarga besar di Taiwan. Tetapi, karena masih sangat kecil, papa tidak mempermasalahkan saya tidak bisa berbahasa Mandarin,” pungkasnya. (radar)