The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

Thank you before work, Suyitno Dreams of Meeting God

Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

SEJAK dibangun ulang akibat kebakaran tahun 2014 then, Klenteng Hoo Tong Bio di Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi, terlihat makin gagah. Saat ini proses pembangunan sudah mencapai 90 percent. Empat pasang patung naga sudah berhadap-hadapan di atap bangunan kelenteng tersebut.

On the other hand, burung hong atau biasa dikenal sebagai burung phoenix oleh masyarakat umum dan patung macan putih berdiri kokoh. Di tiap tiang dan dinding nya ada relief-relief dewa, shio, dan simbol umat Tri Dharma. “Pembangunannya sudah 90 percent. Yang paling lama sebenarnya ya ukir-ukiran ini (relief),” ujar Ketua TITD Hoo Tong Bio, Oei Sioe San.

Dia sangat puas dengan pembangunan ornamen-ornamen klenteng yang dikerjakan pematung asal Banyuwangi tersebut. Dengan bangga dia memuji hasil kerja tersebut karena bentuk patungnya sangat sesuai aslinya. "Even, naganya itu seperti hidup. Banyak yang bilang naganya itu seperti nyata,he praised.

Beberapa waktu lalu pihaknya sempat kedatangan tamu dari Hongkong, China, dan Singapura. Sioe San bercerita, mereka memuji kesempurnaan patung, tulisan, ornamen lain, dan bertanya apakah pihaknya mendatangkan tenaga pematung dari luar negeri.

“Saat dijawab yang membangun adalah putra daerah, mereka tidak percaya,the story. Dia juga menghargai tim pematung yang sangat kooperatif dengan pihak klenteng. Ada tiga tim pematung yang mengerjakan seluruh relief, simbol, dan patung di kelenteng tersebut.

Even, Oei Sioe San sangat mengapresiasi mereka yang berinisiatif menjaga kesantunan dalam bekerja. he mentioned, tanpa diminta para seniman tersebut kulonuwun alias minta izin kepada dewa sebelum bekerja. Salah satu seniman asal Wongsorejo, R. Suyitno Suri, 51, kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi mengatakan, hari pertama bekerja dirinya bersama tim melakukan ritual minta izin kepada dewa.

Nevertheless, Suyitno tetap berdoa sesuai keyakinan muslim yang dia anut. Itu demi melancarkan aksinya membuat patung yang sempurna, terutama saat membuat sepasang naga di atap klenteng. Naga baginya adalah simbol master yang paling disorot masyarakat. Therefore, pengerjaannya harus lebih total.

Uniquely, atas inisiatif sendiri, saat membuat sepasang naga tersebut, dia meminta salah satu umat di klenteng yang rajin sembahyang di pagi hari untuk menyimpan bunga pertama yang berwarna merah putih. Bunga tersebut dia letakkan di mulut naga.

“Itu menurut pribadi saya sendiri lho ya, supaya naganya lebih beraura,” ujarnya yakin. Dia lakukan hal tersebut dua hari sekali. Pada saat pembuatan naga, dia pernah mengalami hal yang menurutnya di luar nalar. Pria yang kerap membuat patung untuk rumah peribadatan hingga ke Brunei Darussalam itu merasa seakan naga tersebut hidup dan membuatnya ketakutan.

Sambil teriak dia meminta timnya tidak meninggalkannya sendirian bersama patung-patung naga tersebut. Pengalaman supranatural juga dia alami saat mengerjakan delapan relief dewa di tiang-tiang penyangga klenteng. Dia bermimpi didatangi salah satu dewi.

“Pernah juga pukul 12.00 melihat dewi pakai baju putih di atas atap. Mungkin pertanda rezeki buat saya,” ceritanya sembari geleng-geleng kepala. Saat pembuatan delapan relief dewa di tiang-tiang penyangga kelenteng itu, dia juga melakukan ritual pribadi, yakni mencampuri adonan semen dengan bubuk dupa bekas sembahyang umat TITD.

Sama, alasannya agar relief dewa tersebut lebih hidup. Tidak hanya Suyitno, seniman lain, Selamet Sugiyono, juga memiliki pengalaman mistis. Saat mengerjakan patung naga di atap aula dia mimpi bertemu naga. Seniman asal Kelurahan Cungking tersebut sangat terkejut ketika bermimpi ketemu naga tersebut.

However, dia memilih tidak mengartikan mimpi tersebut sebagai satu pertanda. Itu memang pertama kali Sugiyono mengerjakan pembuatan patung di klenteng. Dia mengaku bekerja dengan sangat hati-hati. Meski telah belasan tahun memiliki pengalaman seni rupa, tapi kali ini adalah pertama kali dirinya bekerja untuk tempat peribadatan.

“Tentu berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya. Pekerjaan saya yang satu ini lebih sakral. Kami banyak berdiskusi dengan pihak klenteng sebelumnya, terutama Biokong Sutrisno (almarhum)," he explained. (radar)

Exit mobile version