The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

Hati-hati Melangkah di Era Post Truth

hati-hati-melangkah-di-era-post-truth
Hati-hati Melangkah di Era Post Truth
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

Writer: Michael Alexander Hutabarat
(Dosen Program Studi Teknologi Pangan, Institut Teknologi Kalimantan / Peserta LATSAR CPNS Angkatan IV Puslatbang KDOD LAN RI Samarinda), (21/9)

At the moment, kita berada di era keterbukaan informasi, dimana perpindahan informasi dari suatu tempat ketempat lainnya sudah sangat cepat, dan setiap orang bisa dengan bebas menyuarakan opini ataupun pendapatnya. Ada orang yang menyebarkan berita berdasarkan fakta-fakta yang ia peroleh, dan ada pula yang menyebarkan berita bohong (hoax) yang klaim kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Suatu kondisi dimana suatu berita itu masih belum diketahui kebenarannya, namun karena digiring dengan pendekatan emosional dan kepercayaan sehingga opini publik tidak lagi memperdulikan kebenaran atau fakta dari berita tersebut disebut dengan post truth.

Post truth sebenarnya bukanlah terminologi baru. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Steve Tesich di tulisannya yang berjudul The Government of Lies di tahun 1992. Oxford Dictionaries menobatkan kata post truth menjadi kata yang paling banyak digunakan sepanjang tahun 2016. Hal ini bukan tanpa sebab, year 2016 merupakan tahun yang cukup panas untuk Amerika Serikat dan juga Inggris, dimana Amerika Serikat pada saat itu sedang melakukan pemilihan presiden dan di Inggris sedang mengalami referendum Brexit. Donald Trump dianggap pihak yang paling sering menggunakan taktik post truth selama kampanye kepresidenannya. Sungguh sebuah ironi dimana para pemimpin dan pejabat yang seharusnya menegakkan kebenaran dan fakta, justru menjadi aktor utama yang menyebabkan kondisi post truth terjadi. Source : https://medanheadlines.com/2018/07/15/post-truth-era-bohong-tipu-dusta-di-kehidupan-kita-2/

Post truth tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia sendiri sering sekali terjadi post truth. Kondisi ini sengaja dibentuk sebagai alat propaganda yang mampu memanfaatkan sentimen masyarakat melalui penggiringan opini, penggunaan berita hoax, bahkan dengan menggunakan gimmick sehingga masyarakat menjadi kurang kritis dan lebih mengutamakan perasaannya seperti simpati ataupun empati. Penggunaan taktik post truth sering kali menyebabkan polarisasi yang hebat dimasyarakat. Masyarakat menjadi bingung antara yang benar dan yang salah, sehingga tidak jarang terjadi gesekan-gesekan yang justru merugikan dan mengakibatkan perpecahan diantara masyarakat.

Fenomena post truth ini awalnya memang digunakan untuk kepentingan politik. Namun dewasa ini, post truth dapat kita temukan dengan mudah diberbagai aspek. Post truth ini memiliki kemiripan dengan berita bohong (hoax). Both of them, biasanya diramu dengan tajuk berita yang sangat “wah”, tidak mengindahkan kebenaran data dan fakta, bahkan terkadang menggunakan data yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Keduanya juga sering kali disebarkan oleh akun-akun yang sengaja dibayar untuk mempopulerkan berita tersebut yang biasa disebut dengan buzzer. Para buzzer ini akan terus menyebarkan dan mengangkat berita tersebut sehingga masyarakat menjadi percaya akan “kebenaran” hoax tersebut atau bahkan ada masyarakat yang awalnya tidak percaya dengan kebohongan tersebut, malah menjadi percaya. Seorang loyalis Hitler bernama Joseph Goebbels menyatakan “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi sebuah kebenaran”.

Perkembangan zaman yang tadinya diharapkan akan mempercepat laju teknologi dan informasi demi perkembangan peradaban manusia, kini justru seolah-olah menjadi ladang ranjau yang apabila tidak berhati-hati maka kita akan termakan post truth ataupun hoax. Hal ini diperparah dengan para pengguna media sosial yang sudah terpengaruh, tidak hanya percaya, namun juga turut serta menyebarkan berita bohong tersebut bahkan beberapa diantaranya sampai memaksakan berita tersebut untuk dipercaya oleh orang lain. From 275 juta penduduk Indonesia, estimated 170 juta masyarakatnya sudah mengenal dan menggunakan media sosial. Dengan jumlah yang begitu besar, potensi masyarakat untuk digiring opininya melalui post truth tentu besar pula, apalagi apabila taktik post truth ini digunakan secara masif dan terus menerus baik oleh lingkaran kekuasaan maupun dari kalangan selebritis. Masyarakat akan dihadapkan pada kondisi yang penuh kecemasan dan tanda tanya dimana mereka tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, siapa yang harus dipercaya dan siapa yang tidak dapat dipercaya.

Thus, bersikap bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi mutlak diperlukan. Ketika menerima suatu informasi, pastikan sumber informasi tersebut kredibel dan isi informasi tersebut harus berdasarkan fakta yang bisa dipertanggung jawabkan. Terkadang kita mendapatkan foto / gambar dengan narasi tertentu yang menggugah perasaan kita. Dalam pengecekan kebenaran suatu foto / gambar yang beredar, kita dapat menggunakan Google Images. Cukup mengunggah foto / gambar tersebut ke Google Images, nantinya akan keluar informasi yang sebenarnya mengenai foto tersebut. Untuk pengecekan berita, dapat menggunakan situs https://cekfakta.com/. Situs ini merupakan Kerjasama antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Dalam menyebarkan suatu informasi kepada orang lain baik didalam lingkungan keluarga ataupun dalam cakupan yang lebih luas, kita juga wajib bijak. Jangan menyebarkan informasi-informasi yang masih belum jelas kebenarannya, ataupun informasi yang hanya berusaha untuk menggiring opini. Selain menerima dan menyebarkan informasi, hal lain yang perlu diperhatikan ialah kita harus berhati-hati dalam berpartisipasi dalam suatu pergerakan / action. FOMO (Fear Of Missing Out) adalah suatu kondisi seseorang “ikut-ikutan” sesuatu yang sedang hangat terjadi. Sering kali suatu pergerakan / aksi tertentu menjadi sangat besar akibat banyaknya orang yang hanya FOMO. Orang-orang ini sering kali tidak mengerti esensi dari pergerakan / aksi tersebut atau bahkan mengapa pergerakan / aksi itu harus diperjuangkan. Pergerakan / aksi tersebut ada yang memang bertujuan baik, namun tidak jarang pula pergerakan / aksi tersebut dimaksudkan hanya untuk membuat kekacauan bahkan ada kejadian dimana pergerakan yang awalnya berjalan damai, namun karena disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, justru menimbulkan kekacauan. (Bowl)

Exit mobile version